rupiah

Redaksi69 – Bank Indonesia (BI) mengungkap, lemahnya rupiah dimulai sejak 30 september 2022,kemerosotan 6,4 % (tahun ke tanggal) dengan level terakhir 2021,merupakan pokok utama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan juga terjadi terhadap banyak mata uang negara lainnya, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Adapun secara bulanan (month to month/mtm) nilai tukar rupiah pada 30 September 2022 terdepresiasi 2,24% (poin to poin) dibandingkan dengan akhir Agustus 2022.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Wahyu Agung Nugroho menjelaskan, depresiasi rupiah tersebut masih relatif baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.

“Seperti India 8,65%, Malaysia 10,16% dan Thailand 11,36%,” jelas Wahyu dalam Pelatihan Bank Indonesia kepada medias, Sabtu (1/10/2022).

Wahyu bilang, perkembangan nilai tukar yang tetap terjaga ditopang oleh pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik, serta langkah-langkah stabilisasi BI.

“Ke depan, BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makro ekonomi,” jelas Wahyu.

Sumber Berita: cnbcindonesia.com

Pokok Utama Rupiah Melemah dan Campur tangan Bank Indonesia

Wahyu menjelaskan, pelemahan yang terjadi pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga saat ini, lebih disebabkan karena indeks dolar atau DXY yang masih menguat.

BI mencatat indeks dolar menunjukkan pergerakan dolar terhadap enam mata uang negara utama lainnya, meliputi Euro (EUR), Japanese Yen (JPY), Poundsterling (GBP), Canadian Dollar (CAD), Swedish Krona (SEK), serta Swiss Franc (CHF). Indeks dolar berada pada level 112,25 pada 29 September 2022, meningkat dari level dari akhir pekan lalu di level 111,35.

“Penguatan DXY ini dipicu ekspektasi pelaku pasar keuangan global yang ingin mencari aman, sehingga mereka lebih menempatkan dananya dalam bentuk dollar,” jelas Wahyu.

Sehingga investor melakukan risk off, tidak ingin menempatkan dananya di negara berkembang. “Ini yang menyebabkan tekanan tambahan di pasar keuangan domestik di berbagai negara, termasuk Indonesia,” kata Wahyu lagi.

Kendati demikian, BI mengklaim selalu berada di pasar agar rupiah tidak terdepresiasi terlalu mendalam. Cara yang ditempuh BI diantaranya melalui bauran kebijakan dan intervensi di pasar, baik melalui pasar spot maupun melalui Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).

Intervensi yang dilakukan BI tersebut, kata Wahyu untuk tidak membuat kekhawatiran pelaku pasar terhadap perekonomian di Indonesia. Karena, pelemahan nilai tukar rupiah ini lebih didominasi akibat adanya tekanan eksternal.

Pun indeks dolar yang meningkat itu, salah satunya terjadi akibat adanya meningkatnya inflasi dan bank sentral di negara maju yang semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya, terutama Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed).

BI pun meyakini bahwa, depresiasi nilai tukar yang mendalam ini tidak akan mempengaruhi ekonomi domestik secara keseluruhan. Wahyu bilang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat dan diperkirakan pada Kuartal III-2022, pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran 5,5% lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada Kuartal II-2022 yang mencapai 5,44%.

“Memang yang menjadi masalah Indonesia sebagai small open economy tidak punya pilihan selain merespons, jadi siapa yang salah siapa yang menanggung risikonya itu beda hal,” jelas Wahyu.

Adapun nilai tukar rupiah konsisten berada di kisaran Rp 15.000/US$ sepanjang pekan ini. Pelemahan rupiah menyusul kenaikan tajam indeks dolar AS. Di pasar spot,rupiah melemah 1,3% secara mingguan terhadap dolar AS dan ditutup di Rp 15.225/US$. Di saat yang sama indeks dolar AS sempat tembus level tertinggi tahun ini di 114.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *