Redaksi69 – Di dunia bulu tangkis, nama Susi Susanti dipastikan berada di posisi teratas. Prestasi yang diraihnya selama lebih dari 20 tahun memegang raket, tak hanya mengharumkan Indonesia, tapi juga menjadi kekaguman dunia.
Susi Susanti lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 11 Februari 1971 dari pasangan Risad Haditono dan Purwo Banowati. Pendidikan SD ditempuh di Tasikmalaya, kemudian SMP dan SMA Negeri di Ragunan, Jakarta Selatan, lalu ke STIE Perbanas.
Sejak kecil, Susi sudah berlatih bulu tangkis untuk mewujudkan cita-cita ayahnya menjadi juara dunia bulu tangkis yang harus kandas karena cedera lutut saat masih kecil. Di bawah bimbingan sang ayah, fisik dan gerak Susi di lapangan berkembang pesat.
Kelebihan Susi kemudian membuat pamannya, Anton Purwosugiono, meliriknya. Pemilik klub bulu tangkis Tunas Inti Tasikmalaya itu kemudian melatih Susi saat berusia 10 tahun. Tak lama kemudian, Susi menjadi juara bulu tangkis tingkat dasar di Priangan.
Pada tahun 1985, Susi yang masih duduk di bangku SMP memutuskan untuk melebarkan karirnya di dunia bulu tangkis dengan hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan klub PB Jaya Raya di bawah asuhan Liang Ciu Sia.
Pada tahun yang sama Susi berhasil merebut gelar Kejuaraan Dunia Junior, saat usianya masih 14 tahun. Gelar tersebut diraih Susi saat berlaga di tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran.
Sejak saat itu, Susi mulai mengukir prestasi emasnya. Susi memenangkan All England pada tahun 1990, 1991, 1993 dan 1994, Final Grand Prix Bulutangkis Dunia lima kali berturut-turut dari tahun 1990 hingga 1994 dan pada tahun 1996, dan Kejuaraan Dunia IBF pada tahun 1993.
Puncaknya tentu saja saat Susi meraih medali emas tunggal putri pada Olimpiade Musim Panas 1992 di Barcelona, Spanyol dan medali perunggu pada Olimpiade Musim Panas 1996 di Atlanta, Amerika Serikat. Ia juga memimpin tim Indonesia meraih kemenangan atas juara abadi China pada kompetisi Piala Uber 1994 dan 1996.
Susi juga menjadi satu-satunya pebulu tangkis putri yang memegang gelar tunggal Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dan All England secara bersamaan. Dia memenangkan Jepang Open tiga kali dan Indonesia Open lima kali. Dia juga memenangkan banyak seri Badminton Grand Prix dan lima Piala Dunia Bulu Tangkis.
Perawakannya yang relatif kecil, gaya servisnya yang terkenal, gerak kaki yang tak tertandingi, pergelangan tangan yang kuat, dan mental yang tangguh membuat Susi dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu pemain tunggal putri terhebat sepanjang masa.
Susi Susanti menikah dengan Alan Budikusuma pada 9 Februari 1997 setelah berpacaran selama 9 tahun. Pasangan ini dijuluki Pasangan Emas Olimpiade karena sama-sama merebut emas Olimpiade untuk Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.
Nyatanya, Susi masih bisa melanjutkan karirnya, apalagi dia sangat ingin mendapatkan emas di Asian Games, karena satu-satunya kompetisi yang belum pernah dia menangkan. Namun, setelah dinyatakan hamil pada 1998, ia memutuskan gantung raket dan tidak mengikuti Asian Games.
Acara pelepasan Susi berlangsung di Istora Senayan pada tanggal 30 Oktober 1999, yang merupakan pelepasan pertama yang pernah dilakukan oleh PBSI. Dihadiri 2.500 penonton, pada kesempatan itu PBSI menyerahkan penghargaan berupa emas seberat 25 gram.
Federasi Bulu Tangkis Internasional (sekarang Federasi Bulu Tangkis Dunia) pada Mei 2004 menganugerahkan Badminton Hall of Fame kepada Susi Susanti. Sebelumnya, beliau juga menerima Medali Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama pada tahun 1992.
Kisah hidup Susi itu kemudian dibuat film biografi berjudul Susi Susanti: Love All yang dirilis pada 24 Oktober 2019. Kini, pasangan Alan dan Susi memiliki 3 orang anak, Laurencia Averina (1999), Albertus Edward (2000), dan Sebastianus Frederick (2003) . Susi sendiri mendorong anak-anaknya untuk menekuni karir selain bulu tangkis.
Mama-Papa, awal dari semua mimpi.
Sebenarnya, perkenalan saya dengan bulutangkis adalah karena orang tua saya. Kebetulan Mama dan Papa saya punya hobi bulu tangkis. Jadi waktu kecil di kota tasikmalaya, kebetulan mama dan papa mantan pemain lokal, kalau dibilang kurang jago.
Tapi impian menjadi pemain bulutangkis itu bersama Papa. Namun karena Papa sedang cedera saat itu, pada akhirnya ia tidak mau menjadi juara dunia. Namun Papa tetap melanjutkan hobinya di bulu tangkis meski hanya di tingkat Lake City.
Dari situlah perkenalan pertama saya, karena saya sering diajak mama dan papa ke lapangan bulu tangkis. Jadi awalnya saya hanya menemani Mama dan Papa. Setelah itu saya mulai belajar, mencoba dari awal, tapi jemput bola itu menyenangkan. Biasa anak-anak jemput bola terus ada jajan kan? Ada kantin. Saya sangat senang ketika saya masih kecil.
Jadi, awalnya saya tidak ingin bermain bulu tangkis, tetapi saya makan makanan ringan ketika saya masih kecil. Tapi setelah itu saya mulai tertarik. Aku melihat Mama dan Papa bermain, ah coba pukul ternyata cukup menarik juga, seru juga.
Papa waktu itu sepertinya melihat aku punya bakat. Bakat saja tidak cukup. Tapi saya punya karakter kalau belum bisa, saya selalu penasaran, saya mau belajar, belajar, belajar. Nah dari situlah perkenalan pertama dimulai dan dari situ Papa mulai mengajarkan dasar-dasar bulu tangkis.
Masih ingatkah kalian pertama kali mengikuti kejuaraan bulutangkis itu di tingkat SD ya?
Saya masih ingat ketika saya mulai belajar, setelah belajar bulu tangkis, saya masuk ke klub bulu tangkis yang kebetulan punya Paman saya sendiri. Jadi memang keluarga besar Mama dan Papa hobi bulutangkis. Jadi itu mungkin waktu saya masih SD, kalau tidak salah, sekitar kelas 3.
Jadi di Tasik sendiri memang tidak sering, tapi memang ada pertandingan reguler, walaupun mungkin seperti tanggal 17 Agustus. Jadi waktu itu ada kelompok usia junior, kalau junior itu 18 tahun. Jadi waktu itu, walaupun umurku baru 9-10 tahun, tapi pas ada lomba, Papa bilang ikut aja, coba aja.
Saat itu langsung juara?
Di sana saya tidak bisa menang, saya hanya mendapat juara 3. Tapi bagi saya piala itu sangat berharga karena itu adalah start, start yang sangat bagus walaupun saya tidak menjadi juara 1, tapi suatu kehormatan setelah saya berlatih ternyata saya bisa mendapatkannya. Trofi ini adalah salah satu penyemangat saya.
Papa terus mendukung dan menyemangati saya. Kata papa, ini baru juara 3, kamu bisa jadi juara 1 dengan catatan latihan lagi, kerja keras lagi, mimpimu jadi juara dunia. Nah, disitulah saya termotivasi untuk berlatih lebih keras dan ya saya ingin mengejar impian saya menjadi juara dunia.
Saat itu sudah terbayang untuk menjadi juara dunia?
Saya bermimpi menjadi juara dunia, sebenarnya sejak saya mulai bermain bulu tangkis. Jadi kebetulan waktu itu saya sering nonton di TV ada Mbak Verawati, Pak Rudy Hartono. Waktu itu saya jadi ingat Pak Rudy jadi juara All England, jadi suatu kehormatan bukan?
Begitu ya, waktu itu saya masih baru belajar. Wah, saya ingin seperti Pak Rudy, saya ingin menjadi juara dunia. Saat itu, pergi ke luar negeri adalah sesuatu yang luar biasa. Apalagi waktu itu saya melihat Pak Rudy naik podium menjadi juara dan itu menjadi panutan saya, menjadi idola saya, ah saya ingin seperti Pak Rudy, saya ingin menjadi juara All England.
Jadi waktu saya cerita ke Papa tentu dia kasih dukungan yang luar biasa, karena mimpi Papa sebenarnya ingin jadi juara dunia, tapi karena tidak tercapai mimpi itu akhirnya dia titipkan ke saya.
Pindah ke Jakarta, Jauh dari Orang Tua

Setelah itu, mulai meraih banyak kemenangan di berbagai kejuaraan dan masuk ke Pelatnas?
Jadi setelah saya menang pertama kali, juara ketiga itu, di sanalah saya mulai rutin mengikuti kejuaraan. Jadi ada turnamen terbuka, ada kelompok umur, kan? Jadi sekarang ada kelompok anak-anak, PAUD, anak-anak, lalu remaja, lalu ada Taruna SMP.
Waktu itu saya dari Tasikmalaya mulai ikut kejuaraan, di Bandung, di Purwokerto. Saat itu, levelnya masih dalam kelompok usia remaja. Dari situ, mungkin klub-klub besar seperti Djarum dan Jaya Raya memantau bibit-bibit yang ada di daerah tersebut.
Dan di usia 14 tahun saya mendapat tawaran untuk bergabung dengan klub besar. Jadi waktu itu di Tasik saya ikut klub Tunas Inti Tasik, jadi klub kecil di daerah itu. Tapi dari hasil kejuaraan itu saya terpantau oleh klub-klub besar seperti Djarum dan Jaya Raya.
Akhirnya aku memilih, bukan aku juga sih, tapi Papa dan Mamaku juga. Saat itu saya mendapat tawaran dari Jaya Raya dan Djarum. Tapi setelah mungkin berunding, Mama dan Papa akhirnya memutuskan memilih Jaya Raya di Jakarta.
Mengapa memilih untuk bergabung dengan Jaya Raya?
Pasalnya, sebenarnya Djarum juga bagus karena saat itu juga melahirkan banyak atlet dunia, seperti Pak Liem Swie King seperti itu. Akhirnya saya pergi ke Jaya Raya dimana salah satu idola saya, Pak Rudy Hartono, menjadi pelatih disana.
Lalu alasan kedua juga karena saudara-saudara di Jakarta banyak dibandingkan di Kudus. Nah, itu pilihan orang tua saya. Akhirnya di usia 14 tahun saya pindah ke Jakarta, masuk asrama, dan disitulah saya memutuskan bahwa ini mungkin akan menjadi karir saya, impian saya dan bulu tangkis bukan hanya hobi bagi saya, tapi sudah menjadi profesi saya.
Dapatkah Anda menceritakan betapa sulitnya berpisah dari keluarga di usia yang begitu muda?
Mungkin ini adalah salah satu momen terberat. Ketika saya dalam proses mencapai impian saya, bagaimana saya harus berpisah dengan orang tua saya, saya harus mandiri. Saya memasuki asrama secara otomatis sendirian. Dulu waktu kita di Tasik ada Mama dan Papa, lalu ada juga Mbak, semuanya terasa mudah.
Tapi ketika saya masuk ke asrama, tentu sangat berbeda. Saya harus mandiri, berlatih sesuai jadwal yang telah ditentukan. Lalu tentunya juga tinggal di asrama, saya juga harus mengatur diri saya sendiri, mengatur waktu, dimana pagi hari rutinitasnya kalau dibilang mungkin untuk seusia saya ini cukup berat.
Jam 5 pagi saya harus bangun, karena jam setengah enam saya harus latihan, sampai jam 8. Karena jam setengah sembilan aku harus pergi ke sekolah. Jadi kebetulan komplek itu sangat mendukung sekali untuk seorang atlit disana, karena ada sekolah, ada tempat latihan dan asrama semua dalam satu komplek.
Kemudian saya pergi ke sekolah jam setengah sembilan sampai jam 2 siang. Jam 3 sore saya latihan lagi sampai jam 7. Nah, itulah rutinitas yang harus saya lakukan setiap hari. Dari Senin sampai Sabtu. Libur hanya hari Minggu.
Jadi hanya libur sehari?
Ya suatu hari. Tapi saya sadar karena itu adalah pilihan saya. Mungkin awalnya cukup berat karena saat pertama kali berpisah dengan orang tua, ada rasa rindu, jadi ada rasa kehilangan, dimana biasanya selalu berkumpul, selalu ada ibu dan ayah yang selalu ada di sisiku .
Disini saya harus sendiri, tapi saya harus, bukan hanya berani, tapi punya tekad yang kuat demi sebuah prestasi. Saya menyadari bahwa jika saya bisa tinggal di Tasikmalaya saja, saya mungkin hidup nyaman, tapi untuk apa?
Saya harus mengikuti jadwal latihan setiap hari. Ada kalanya mungkin saat itu aku juga sedih, ada kalanya aku juga merasa aduh sepertinya aku lelah sekali ya, menyerahlah dengan keadaan itu. Namun biasanya orang tua yang selalu memberikan dukungan.
Mereka berkata, “Kamu ingin menjadi juara dunia, ya, kamu harus lulus, kamu harus hidup, karena semuanya terserah kamu lagi.” Jika Anda ingin mencoba dan tentu saja mimpi apa yang ada di depan Anda’. itulah yang selalu memotivasi saya, menyemangati saya dan menguatkan saya untuk melewati itu semua.
Momen Kencan di Lapangan Badminton

Apakah rutinitas yang menumpuk menjadi kebosanan yang membuat Anda hampir menyerah?
Jadi jika Anda bertanya kepada saya, apakah saya hanya bersenang-senang? Tidak. Karena setiap hari saya berlatih. Begitulah disiplin harus tinggi, ada jam malam, ada waktu boleh makan saja, ada aturannya, mungkin ada nutrisinya, berapa yang harus kita keluarkan. Kemudian latihan juga tidak boleh terlambat, tidak boleh kurang, atau mungkin mengurangi jadwal latihan.
Nah, itulah hal-hal yang mungkin membuatmu bosan. Apalagi mungkin di asrama kadang kita juga berantem sama temen, jangan diomongin nanti banyak ya, bukan drama, tapi memang di kehidupan sehari-hari pasti ada yang seperti itu.
Yah, biasanya saya selalu berpikir positif. Paling tidak kalau saya mengadu biasanya saya tidak punya telepon sebelumnya, jadi saya menulis surat, dan rutin ke Mama dan Papa, selalu berkirim surat tentunya untuk mendukung saya, mendukung saya. Kadang aku juga, kalau ada masalah, oh kok jadi begini, Papa atau Mama selalu menguatkanku.
Tidak apa-apa, kamu harus kuat, kamu harus kuat, kamu harus semangat, karena itu adalah masa depanmu. Ketika sudah memilih harus konsisten, harus bertanggung jawab atas pilihannya, karena. Masa depan ada di tangan Anda sendiri. Nah itu yang selalu menguatkan saya.
Lalu, bagaimana perkenalan dengan Alan Budikusuma?
Kenalan pertama saya dengan Mas Alan sebenarnya di lapangan bulu tangkis. Jadi kebetulan waktu saya di Jaya Raya Jakarta, waktu itu teman-teman asrama banyak dari berbagai provinsi dan kota. Jadi ada yang dari Jawa Timur, dari Solo, dari Jogja, saya dari Tasikmalaya. Jadi semua orang berkumpul.
Tapi bagi kami sebenarnya menjadi satu keluarga karena kami jauh dari orang tua, otomatis mereka adalah saudara kami sendiri. Karena kami berdua merasakan nasib yang sama di asrama, kami harus berlatih bersama, kami makan bersama. Kami juga terkadang pergi ke sekolah.
Nah mulainya dari situ mungkin, oh kayaknya ada yang cocok. Ada sesuatu untuk dibicarakan. Mungkin baru pertama kali ketemu Mas Alan di tempat saya praktek, mungkin di kantin sambil makan. Kadang saya juga punya masalah dengan teman. Biasanya dengan teman-teman yang cukup kaya, apa yang bisa kita bicarakan, salah satunya adalah Mas Alan. Dari situlah mungkin kedekatan saya dengan Mas Alan berawal dari situ.
Mulai dari curhat berarti ya?
Mulai dari curhat, lalu juga saling memperhatikan. Sudah makan belum? Mari kita makan bersama ya? Itu dia. Nah itu yang membuat kita dekat satu sama lain. Saling support, tolong tambah lagi latihannya, mau dong bertanding disana, biar kita menang bersama.
Jadi dari hari ke hari kami berdua saling support, saling perhatian. Akhirnya mulai tumbuh kok ini kayaknya cocok, aku mikir kok dia care sama aku gitu. Dan sebaliknya.
Bisa dibilang cinlok ya?
Cinlok ya, cinta lokasi, benar sekali, ha…ha…
Jadi bagaimana dengan kencan di tempat latihan, apakah ada acara kencan juga?
Itu sangat berbeda. Kencan kita dengan teman seusia kita tentu berbeda, karena kita banyak aturan di asrama, lalu tanggung jawab kita juga berbeda, karena kita punya target sendiri.
Jadi waktu itu sebenarnya dari pelatih, dari orang tua sebenarnya tidak terlalu setuju dengan atlet yang pacaran. Mengapa? Takut mengganggu. Karena banyak sekali contoh pacaran yang menyebalkan, bahkan bisa menurunkan performa.
Jadi kurang fokus karena sering bingung gitu ya?
Itu benar. Apakah Anda takut terbawa suasana atau semacamnya? Atau mungkin konsentrasinya bahkan bukan pada bulu tangkis tetapi pada pacaran. Nah itu yang ditakuti bukan hanya orang tua, tapi juga pelatih tentunya.
Jadi, bagi saya dan Mas Alan sendiri waktu itu kami punya komitmen bahwa tidak apa-apa kami jalan terus, kami dekat, tapi prioritas utama kami adalah prestasi. Jadi wajar kan kalau kita pacaran nggak bisa keluar berarti nonton film atau macam-macam, nggak ada waktu, capek kan?
Jadi kita pergi ke lapangan atau kita hanya bertemu di kafetaria. Paling kalau bisa latihan ya kita tambahin latihannya, tambahannya pacaran ya? Tapi di lapangan bulu tangkis.
Misalnya latihan tambahan, mungkin saya kurang smash, jadi mas alan sudah sparing-in, ayo mas alan di pertahanan, atau mungkin mas alan kurang bagus fisiknya. Oke, saya akan melatih Anda agar Anda kuat di lapangan.
Jadi dukungan menambah pelatihan, kencan di lapangan seperti itu. Sebagian besar waktu, jika kita ingin pergi keluar, itu pada hari Minggu. Tapi biasanya kalau hari minggu tante saya jemput saya dan pulang ya ke rumah saudara saya. Otomatis kami tidak punya waktu untuk nongkrong bareng, paling tidak kami biasanya di lapangan atau di kantin.
Kapan hubungan dengan Mas Alan akhirnya mendapat restu dari orang tua?
Kami dulu seperti jalan belakang karena kami takut. Karena kalau kita kalah selalu ada gosip. Wartawan selalu bilang, wah kebanyakan pacaran. Sekarang itu akan membuat pelatih marah, orang tua marah.
Pada akhirnya kita pergi begitu saja. Tapi kami tunjukkan dengan prestasi. Nah, hal itulah yang membuat kami bisa bertahan, bukan hanya komunikasi, tapi hubungan yang lama, pacaran sampai akhirnya menang, sepertinya hubungan kami baru saja direstui.
Idola yang Akhirnya Menjadi Pelatih

Selain orang tua dan Mas Alan, siapa sosok lain dibalik kesuksesan Susi Susanti?
Saya sukses, tentu saja tidak sendirian. Saya selalu mengatakan bahwa ada banyak orang di sekitar saya yang menjadikan saya seorang juara. Pelatih pastinya, karena tanpa pelatih saya tidak akan bisa sukses dari ilmu dan mungkin jadwal program latihan yang diberikan.
Saya punya banyak pelatih, mulai dari Kota Tasikmalaya, lalu dari Jaya Raya hingga Pusdiklat Nasional, semuanya memiliki pelayanan yang luar biasa. Karena keuntungan yang mereka berikan kepada saya. Karena setiap pelatih berbeda. Ada yang mungkin memiliki strategi yang baik, ada yang memiliki program yang baik, ada yang memiliki disiplin yang baik.
Jadi bagi saya semua pelatihnya, mulai dari Tasikmalaya ada om saya, lalu juga di Jaya Raya waktu itu ada sepupu saya yang pelatih fisik, ada Bu Retno, ada Bu Minarni, ada Pak. Rudi Hartono.
Kemudian juga di pelatnas juga banyak pelatih. Ada Pak Atik Jauhari, ada almarhum Pak Anton, lalu ada Pak Tahir Djide, lalu yang terakhir mengantarkan saya menjadi juara All England, juara dunia, juara olimpiade adalah Ibu Liang Chiu Sia. Jadi banyak sekali orang-orang yang memiliki peran penting yang berkontribusi terhadap pencapaian saya.
Selain itu tentunya rekan-rekan seperjuangan. Walaupun kita bertanding di lapangan, tapi diluar lapangan kita bersaudara. Saat kami berlatih, mereka juga menyisihkan kami dan itu juga memiliki peran penting. Tanpa mereka saya tidak akan bisa berlatih sendiri.
Lalu tentu saja lawan saya juga, tanpa mereka lawan dari negara lain, tanpa mereka saya tidak akan menjadi juara. Dari mereka saya juga belajar banyak dari kekalahan dan kemenangan dan bagaimana kita juga bisa menjadikan olahraga ini musuh bebuyutan, tapi dari mereka saya termotivasi untuk menjadi yang terbaik.
Bisa ceritakan sedikit bagaimana rasanya dididik oleh Rudy Hartono yang tak lain adalah idola Mba Susi ini, apakah Anda merasa deg-degan?
Pasti iya, karena dia panutan saya, idola saya. Saat itu ia menjabat sebagai Ketua Klub PB Jaya Raya. Memang tidak setiap hari Pak Rudy datang, tapi setiap kali Pak Rudy mau datang, ya ampun kami sudah terlihat sangat tegang.
Ups, Pak Rudy, mau melatih saya atau tidak? Dan biasanya Pak Rudy hanya memilih atlet-atlet yang kalau dibilang menonjol, yang mungkin langsung dipegang Pak Rudy. Saya cukup bangga, cukup senang karena saya salah satu yang terpilih saat itu.
Bagi saya ini bukan sekedar penyemangat tapi support yang luar biasa, karena ketika Pak Rudy mengatakan kalau mau juara harus begini. Itu saya tulis dan saya merasa ingin seperti Pak Rudy.
Jadi waktu saya mungkin di pelatnas, saya menjadi juara All England oke, juara All England hanya sekali, dua kali, saya hanya empat kali juara All England, sedangkan Pak Rudy 8 kali. Tapi itu memberi motivasi bahwa Pak Rudy bisa, kenapa saya tidak bisa? Jadi kemenangan demi kemenangan tidak membuatku puas.
Saat menghadapi lawan dari berbagai negara yang memiliki fisik lebih tinggi, apakah ada rasa tidak percaya diri?
Lebih awal di sana. Karena kalau dibilang tinggi badan saya biasa-biasa saja, bahkan di bawah standar atlet kan? Tinggi saya cuma 162, padahal terutama dari Eropa, ada yang 180, ada yang 190. Otomatis begitu masuk lapangan, wah, tinggi banget, kayak raksasa kalau ngomong gitu.
Tapi dari pelatih, dari Papa saya selalu tekankan kalau bertanding tidak harus melihat lawan, mau tinggi, mau jago, mau main apa saja, fokus saja pada lawan. Dengan kata lain, ketika kita masuk ke lapangan, kita tidak tahu apakah kita ingin menang, apakah kita ingin kalah, bermain dulu, maksimalkan dulu dengan apa yang kita miliki.
Jadi jangan takut dulu. Itu yang selalu saya ingat, walaupun mungkin tidak ada yang mengatakan, ketika masuk lapangan pertandingan, mereka bilang tidak tegang, pasti tegang. Padahal udah juara dunia, juara olimpiade, pas masuk lapangan pasti tegang. Tapi fokus kita bukan pada ketegangan kita sendiri, tapi fokus kita pada lawan.
Berharap Lahirnya Calon Juara Tunggal Putri

Melihat perkembangan dunia bulu tangkis nasional, mengapa sampai saat ini belum juga melahirkan pemain tunggal putri sekaliber Susi Susanti?
Ketika saya bertemu wartawan atau orang-orang penggemar bulu tangkis, saya selalu ditanya kenapa tunggal putri belum ada yang tayang? Sebenarnya bukan tidak ada, tapi kita juga harus tahu bahwa memang jumlah anak perempuan di Indonesia tidak sebanyak anak laki-laki. Itulah salah satu alasan mengapa begitu sulit bagi kita untuk menemukan, mungkin atlet yang tidak hanya berbakat tetapi juga berprestasi.
Sehingga permintaan atlet putri jauh lebih sedikit dibandingkan dengan atlet putra. Tapi bukan berarti tidak ada. Sehingga yang saya tahu PB PBSI sudah bekerja keras untuk bisa membina atlet putri Indonesia mencapai prestasi yang diinginkan. Tapi sekarang lagi proses ya, prosesnya masih panjang.
Jadi saya masih ingat bahwa suatu saat mungkin kita juga bisa flashback jaman Bu Minarni. Jika hanya satu putri kaya yang muncul, ya. Kemudian setelah itu Ibu Ivana Lie muncul lagi. Setelah itu, mungkin Elizabeth Latief, Sarwendah. Kemudian setelah Sarwendah saya, sepertinya mereka muncul satu per satu.
Sementara itu, putra kami tahu banyak. Mulai dari jaman Pak Rudy Hartono kan, ada Pak Rudy Hartono, ada Pak Liem Swie King, ada Lius Pongoh, banyak banget kan? Jadi itu di waktu saya. Mengapa? Karena hanya satu, bibit putri minim.
Kita orang timur, kan? Biasanya orang tua yang punya anak perempuan kaya raya mungkin tidak mendukung, tidak mendukung jika anaknya memilih untuk berolahraga, kenapa? Paling gampang, aduh, nanti badanmu kuat, katanya. Anda tidak terlihat feminin.
Rata-rata, mungkin orang tua akan memilih putri mereka untuk seni, menyanyi, musik yang sepertinya lebih dekat dengan dunia wanita. Jadi itu salah satu dari hal-hal itu mungkin.
Kedua, proses menjadi juara dunia juga tidak mudah, tidak hanya bakat tapi juga kemauan. Jadi, di kalangan wanita sendiri banyak atlet wanita yang berbakat, kurang kemauan, ada yang punya kemauan dan kurang berbakat. Nah itu juga yang bikin kita agak susah disana.
Tapi bukan berarti tidak ada. Mungkin setelah saya saat itu kami mengharapkan Mia Audina. Ternyata Mia malah pindah ke Belanda. Itulah yang membuat kita mengalami lost generation. Nah, untuk saat ini kita sedang mengejar bagaimana mencetak atlet putri Indonesia yang memiliki prestasi yang bisa dibanggakan seperti dulu.
Sebenarnya saat ini kami memiliki Putri KW, dan kami memiliki Gregoria Mariska, yang kami harapkan di masa depan. Memang saat ini mereka sedang dalam proses pendewasaan ya, dan pelan-pelan semoga bisa lebih banyak bicara dan berprestasi.
Dalam pandangan Mba Susi, bagaimana peta kekuatan bulu tangkis dunia saat ini?
Jika Anda ditanya sekarang negara mana yang paling kuat, distribusinya lebih merata. Misalnya dulu mendominasi Indonesia, Denmark, China, Malaysia. Namun kini sudah mulai berbalik arah. Sekarang Taiwan cukup kuat, India cukup kuat, lalu mungkin Spanyol. Kita mungkin melihat Spanyol selalu dari sepak bola. Jadi, juara dunia wanita itu berasal dari Spanyol.
Lalu mungkin kemarin mengejutkan bahwa dari Islandia, lalu dari Turki, dari Israel, mereka bisa masuk 20 besar dunia. Nah, kalau ditanya sekarang, mana yang kuat? Sekarang bahkan. BWF sangat luar biasa dalam segala programnya untuk bulutangkis massal di dunia. Dan ini kerjasama dari negara-negara yang memiliki kekuatan bulu tangkis dunia.
Intinya membantu negara yang bulutangkisnya belum berkembang?
Jadi Indonesia sendiri, lalu juga China, lalu Denmark. Mereka membantu negara-negara kecil untuk bisa membina. Misalnya, mungkin Indonesia biasanya mendapat tugas pelatihan dari negara lain. mungkin waktu itu ada dari amerika latin ya. Saat itu hingga pelatihan di Kudus, ia dititipkan.
Kemudian dari Guatemala, kami tidak hanya berlatih di sini, tetapi kami juga mengirimkan pelatih, jadi otomatis programnya sama. Mereka juga mengistilahkan membina masing-masing di negaranya masing-masing dengan baik. Otomatis persaingan akan lebih baik.
Tapi ada plus minusnya juga. Bagi saya dan BWF sebenarnya ini sudah menjadi salah satu strategi BWF, karena apa? Semakin banyak negara yang menyukai bulu tangkis, otomatis kekuatan bulu tangkis di olimpiade akan terjaga.
Ini mungkin salah satu strategi bukan hanya untuk BWF, tapi juga untuk negara-negara yang mungkin kuat bulu tangkisnya, karena otomatis kita juga harus membela bulu tangkis di olimpiade.
Pilihan Sulit Sebelum Gantung Raket

Momen apa yang paling berkesan dalam perjalanan karir Mba Susi?
Kalau ditanya, momen yang paling berkesan pasti olimpiade. Olimpiade Barcelona tahun 1992. Mengapa? Mungkin saya sudah menjadi juara All England, saya adalah juara dunia. Tapi Olimpiade adalah kejuaraan tertinggi di mana ada pengakuan dunia.
Saya juara All England, juara dunia, tapi hanya orang yang mungkin suka bulu tangkis yang tahu itu. Tapi di Olimpiade itu, semua mata dunia memandang ke sana dan pengakuan dunia ada di sana.
Lalu kenapa yang paling sulit? Karena menuju Olimpiade tidaklah mudah. Kami biasanya mempersiapkannya setidaknya empat tahun sebelum Olimpiade, itu sudah disiapkan. Kemudian menuju olimpiade ada seleksi. Dua tahun sebelum olimpiade kita harus mengikuti seleksi dimana hanya atlet yang memiliki peringkat tertinggi yang boleh bermain disana.
Biasanya 16 besar dunia hanya diperbolehkan bertanding di Olimpiade. Jadi sangat sulit untuk sampai ke sana. Belum lagi tekanan, belum lagi beban, belum lagi kemungkinan target yang ditetapkan di sana.
Kemudian juga tentunya olimpiade memberikan hal yang paling berkesan di tahun 1992, karena saat itu baru pertama kali bulu tangkis dipertandingkan dan otomatis beban tanggung jawab menjadi berlipat kan, karena saat itu Indonesia berpeluang untuk bisa juara. medali di bulu tangkis.
Beban yang dirasakan saat itu sungguh berat ya?
Saat itu saya takut bertemu orang, karena ketika saya lolos ke olimpiade, tekanan atau tanggung jawab dan beban ada di pundak saya. Setiap ketemu orang, saya selalu bilang kamu harus jadi emas, kamu harus jadi emas, bukan hanya oleh pengurus, bukan oleh Ketua PBSI atau Menpora, tapi oleh orang-orang yang bertemu, Susi kamu adalah emas , kan, harus emas kan? Aduh, harus… harus… harus, aduh kataku. Sampai aku takut saat itu.
Itulah yang memberi saya saat-saat yang tidak mungkin untuk dilupakan. Namun kembali lagi bahwa pada saat itulah saya harus menerima tanggung jawab dan pada saat terakhir itu saya harus benar-benar kuat untuk menjalankan tugas tersebut. Saat itu saya berusaha siap dalam situasi apapun. Itu adalah kenangan yang selalu mungkin yang tidak hanya menyenangkan, tetapi proses menuju ke sana juga luar biasa.
Lantas apa yang membuat Mba Susi akhirnya memutuskan gantung raket?
Itu adalah keputusan yang sangat, jika Anda katakan, sangat penting bagi saya. Seorang atlet di masa tersulit, salah satunya adalah bagaimana kita memutuskan untuk pensiun. Karena dari kecil sampai kita berkarir di bulu tangkis. Bahkan sekolah dikatakan nomor dua.
Dan yang paling saya takutkan tentang pensiun sebagai atlet, apa yang akan kita lakukan setelah kita bukan atlet? Karena apa? Keahlian kami hanya mungkin jika saya di bulu tangkis, hanya bulu tangkis. Untuk sekolah, saya hanya lulus SMA, saya harus meninggalkan kuliah, karena saya harus memilih, saya belajar sampai semester 3.
Itu juga kenapa saya memutuskan mundur karena sempat mengikuti ujian, tapi saya juga harus latihan sambil mengikuti ujian, akhirnya saya cedera. Akhirnya, di situlah saya memutuskan, tidak, saya hanya bulu tangkis, daripada cedera dan saya berhenti.
Sekarang ketika saya pensiun, saya juga harus memikirkan apa yang ingin saya lakukan selanjutnya setelah mundur. Karena kita tidak ada jaminan apapun dari pemerintah walaupun kita sudah menjadi juara dunia, juara olimpiade atau apapun itu. Ketika kita mundur kita bukan apa-apa. Kami adalah manusia biasa dan harus memulai dari nol lagi.
Lalu, alasan mundur?
Sebenarnya, saya kembali secara tidak sengaja. Sebenarnya niat saya mundur adalah setelah saya menyelesaikan satu tugas lagi, yaitu Asian Games 1998, yaitu pada bulan Desember. Ternyata di bulan Agustus (mundur).
Jadi saya menikah pada tahun 1997, saya pikir saya masih punya waktu dua tahun lagi untuk bermain bulu tangkis. Yah, aku punya rencana, tapi Tuhan yang memutuskan. Tuhan menentukan. Pada Agustus 1998 saat pertandingan Singapore Open, saya masih ingat itu adalah pertandingan terakhir saya.
Saat itu saya kalah di final dari musuh bebuyutan saya Ye Zhaoying. Saya pulang dan hasilnya positif, saya dinyatakan hamil. Itu keputusan yang cukup sulit, apakah saya ingin melanjutkan kehamilan atau saya ingin melanjutkan karir saya.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan Mas Alan, dari orang tua saya, dari coach saya, semua terserah saya yang memutuskan. Di satu sisi saya masih punya ambisi. Saya memenangkan semuanya, hanya satu Asian Games yang belum saya menangkan. Namun di sisi lain, saya mendapat berkah dari Tuhan, yaitu sebagai wanita yang sempurna, saya mengandung anak yang saya kandung.
Ini keputusan yang sulit untuk dibuat, bagaimana dengan itu? Akhirnya saya memutuskan, mungkin dalam agama saya jika saya memutuskan untuk berkarir otomatis saya harus membunuh janin di perut saya. Ini adalah sebuah dosa. Saya lebih takut dosa.
Akhirnya saya memutuskan, jangan saya katakan itu, mungkin itu sudah cukup. Saya ingin menjadi sempurna, tetapi kesempurnaan adalah milik Tuhan. Tapi saya mendapat berkah luar biasa yaitu malah seorang anak. Di situlah saya akhirnya memutuskan untuk pensiun.
Aktivitas Setelah Pensiun dari Bulu Tangkis

Apa kesibukan Mba Susi sekarang?
Kesibukan saya pasti ibu rumah tangga, apalagi saya sudah punya 3 orang anak. Kegiatan sehari-hari di rumah, kemudian saya juga punya usaha yang tidak jauh dari alat olahraga. Kemudian saya juga memiliki spa tetapi lebih merupakan pijat refleksi olahraga.
Saya juga masih berkecimpung di dunia bulu tangkis, saya Wakil Ketua PB Jaya Raya. Mereka juga banyak membantu bulu tangkis tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara tetangga kita.
Bagaimana dengan anak-anak, tidak ada yang tertarik bermain bulu tangkis?
Aduh, anak-anak saya terlambat menjadi atlet bulu tangkis. Tetapi ketika saya masih kecil, saya memperkenalkan mereka semua dengan olahraga. Karena bagi saya olahraga itu sangat penting. Bukan hanya untuk prestasi tapi untuk kesehatan. Jadi waktu kecil mereka juga bermain bulu tangkis.
Selain bulu tangkis, mereka juga berenang. Karena penting bahwa dalam air kita harus bisa melakukan itu. Kemudian saya juga memasukkan bela diri mulai dari aikido dan kemudian juga wushu. Jadi mereka setidaknya bisa melindungi diri mereka sendiri.
Kalau untuk jadi atlet, sampai sekarang belum. Tetapi untuk menjadi tim sekolah, mereka melakukannya. Bahkan sekarang, mungkin di Amerika pun mereka masih menekuni bulu tangkis di sekolah. Tetapi jika Anda ingin mengikuti ibu dan ayah Anda, tidak, mereka hanya pergi ke sekolah sekarang.
Tapi Mba Susi tidak pernah menuntut mereka menjadi atlet?
Tidak terlalu. Saya bebas. Karena saya tahu mungkin kalau orang tanya mereka ibu bapak atlet bulu tangkis juara. Tidak punya bakat? Jika ditanya apakah Anda memiliki bakat, Anda memilikinya. Tapi sekali lagi, bakat saja tidak cukup. Karena melihat mereka masih kecil, mereka ingin on-off, itu sudah tidak mungkin.
Dari dia saja, dari anak sendiri tidak ada keseriusan, tidak ada minat, dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menjadi juara. Jadi latihan sedikit, aduh panasnya Papa. Aduh gak ada AC buat ikutan pertandingan, panas, gak mau.
Ya gimana mau jadi juara, kalo gak punya kemauan gak bisa berjuang. Tidak hanya melawan lawan, Anda bahkan tidak bisa melawan diri sendiri, itu sulit. Jadi saya bilang ya, bulu tangkis saja untuk menambah nilai, tidak apa-apa. Tapi tidak apa-apa, jika Anda memutuskan untuk pergi ke sekolah, maka Anda harus belajar dengan baik, itu saja.
Apa harapan Mba Susi untuk pemerintah dan calon atlet bulu tangkis kita ke depan?
Mungkin bagi Sobat Liputan6 ya, jika ingin menjadi atlet profesional atau atlet berprestasi pasti bisa. Namun tentu saja bakat saja tidak cukup. Niat yang kuat, mau bekerja keras, disiplin, kemudian berlatih keras, tidak mudah putus asa. Saya percaya bahwa masa depan ada di tangan Anda. Tetap semangat, kamu pasti bisa.
Dan mungkin bulu tangkis saat ini juga sudah mampu memberikan sesuatu yang tidak hanya prestasi, bukan hanya kebanggaan, tapi juga uang segar yang cukup banyak. Dan sekarang mungkin pemerintah lebih baik lagi dalam hal perhatian, karena dari hasil prestasi atlet lebih diperhatikan.
Namun kita juga masih berharap ada batasan masa prestasi di bulu tangkis atau masa keemasan atlet. Tentunya setelah mendapat penghargaan, kita juga berharap kedepannya lebih terjamin lagi bagi para atlet, karena juara dunia hanya ada satu.
Ketika seseorang ingin anaknya menjadi seorang atlet, tentunya orang tua selalu bertanya apakah ada masa depan atau tidak? Apakah ada jaminan atau tidak? Ya kita berharap pemerintah juga memperhatikan hal ini, karena dengan adanya jaminan tentunya akan membuka peluang, memberikan harapan dan juga memberikan semangat kepada generasi muda agar juga mau menjadi atlet karena ada jaminan dan disana adalah penghargaan yang sesuai sampai usia tua mereka.
Sumber: Liputan6