Redaksi69 – Presiden Joko Widodo (Jokowi) targetkan mulai bursa karbon di tahun 2023. Jokowi meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memulai realisasi pertukaran karbon. Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengawal pelaksanaan pertukaran karbon secara nasional.
Target tersebut lebih cepat dari yang diumumkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2024. Namun, Direktur Penggerak Sumber Daya Sektoral dan Daerah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wahyu Marjaka mengatakan, persiapan tersebut tidak akan mudah.
“Target waktu kepemimpinan kita menjalankan amanah dari Presiden (Jokowi) adalah 2023. Tapi pemahaman kita juga tidak mudah, memang semua infrastruktur harus diselesaikan dulu. Dari regulasi harus kita pastikan harus selesai, katanya di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Wahyu menjelaskan sejumlah infrastruktur perlu disiapkan, antara lain Sistem Registrasi Nasional (SRN) yang terhubung antar pemangku kepentingan. Kemudian, memfasilitasi operasi perdagangan karbon seperti rumah karbon, dan sebagainya.
Kemudian, dia juga menilai wajar mengapa OJK menargetkan pertukaran karbon baru bisa dimulai pada 2024. Ke depan, KLHK juga akan terus menjalin kerja sama dengan otoritas dan berbagai sektor lainnya.
“Ini sangat penting, karena (kami khawatir) sistem yang kami siapkan, regulasi yang kami siapkan, tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh OJK. Jadi komunikasi ini sangat penting, sejak awal. harus dilakukan terlebih dahulu,” tambahnya.
Kombinasi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan sejumlah infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan pertukaran karbon atau perdagangan karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2023
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi mengatakan penyelenggara bursa karbon harus merupakan bursa efek atau pelaku pasar yang telah mendapatkan izin usaha dari otoritas di sektor jasa keuangan.
Untuk implementasi pertukaran karbon, Wahyu membuka kemungkinan bisa digabungkan. Misalnya, apakah OJK dengan semua sistem yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan membentuk bursa sendiri, atau akan sama dengan bursa yang sudah ada seperti Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Saya belum memutuskan, karena masih cukup banyak faktor yang harus kami hitung,” kata Wahyu.
Sementara itu, kata dia, mekanisme perdagangan karbon bisa dilakukan secara langsung. Seperti yang telah resmi dimulai oleh perusahaan pembangkit listrik dengan menjual Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE).
“Kalau untuk carbon exchange, bisa memakan waktu untuk berbagai hal. Padahal, direct trading memang membutuhkan itu, tapi mungkin direct trading membutuhkan waktu yang lebih singkat,” ujarnya.
Perdagangan Karbon PLTU Resmi Dimulai, Target Emisi Turun 500 Ribu Ton

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memulai perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik berbasis batu bara. Tujuannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan secara bertahap.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon Pada Subsektor Pembangkit Listrik.
Melalui regulasi tersebut, tahap awal mekanisme perdagangan karbon dimulai pada 2023-2024 untuk PLTU yang terhubung ke jaringan PLN. Targetnya, target penurunan emisi GRK menurut Nationally Defined Contribution (NDC) sebesar 31,89 persen pada 2030 dapat dimulai secara bertahap di sektor ketenagalistrikan yaitu 500 ribu ton.
“Tujuan utamanya adalah untuk memastikan ada pengurangan emisi gas rumah kaca. Menurut saya, harus ada hasil, pengurangan yang nyata. Kita tidak ingin ini hanya menjadi pertukaran dokumen nanti, mereka yang membeli lebih banyak beli yang tidak. Kalau ini dijumlahkan, saldonya jadi 0,” kata Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, Selasa (24/1/2023).
Meski emisi berkurang, Dadan ingin pasokan dan harga listrik ke masyarakat tetap andal dan terjangkau. Oleh karena itu, penetapan Persetujuan Teknis Batas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) pada tahap awal ini tetap bersahabat.
“Tapi kita juga akan melihat bahwa pada akhirnya kita akan mendapatkan pengurangan (emisi gas rumah kaca). Dari perhitungan kita, angkanya 500 ribu ton untuk tahun ini. Memang kalau melihat angka 240-250 juta ton yang akan datang. dari sektor ketenagalistrikan jumlahnya 1/500. Tidak besar,” jelasnya.
Sumber: Liputan6